Minggu, 07 Desember 2014

Menuju Pintu (Bagian 1)

Dua tahun lalu, saat kita memutuskan untuk menjadi apa yang kita inginkan maing-masing. 14.28 tanpa ada suara yang begitu berati, matahari tampak redup disisipi awan. Bukan karena kita saling diam namun memang karena sudah seharusnya begitu untuk sekarang. kita pernah membahas takdir, beberapa kenyataan melintas ia berdampingan bersama tarian langit. Empat hari sebelum kita bertemu dari hari ini aku pernah bilang kepadamu bukan?

       "Begitulah kira-kira, aku sudah tidak tau harus mengarahkannya kemana lagi. Jika begini mungkin aku tidak akan sempat tau bagaimana kelak jalannya"

       "tapi tidak ada yang memaksakan kamu untuk tetap seperti ini, aku kira 1 tahun ini kita baik-baik saja, bahkan kau seperti tidak mempunyai keluhan mendalam mengenai apa yang terjadi kini, jika kamu merasa sesak mengapa baru sekarang kamu desak?"

Mataku mengarah tepat ke dalam mata perempuan yang kini ada di depanku, aku memegang tangan nya dengan erat, antara ingin menggenggam kuat. namun sisi lain mengajak  fikiran ku berdialog mengenai beberapa kata yang bolak-balik menyita energi setiap jaringan sel otak, mempercepat detak jantung dan merusak kemampuan aku untuk tenang

        "Hey, kamu mau diam saja? atau kita berpisah disini? aku tidak mau begitu sering mengganggu mu jika dalam suasana begini"

        "Bukan begitu yang aku mau, bisa paham bukan? menahan ini membuat paru-paru ku ingin meledak bersama organ tubuh lainnya,"

        "Jangan bilang kamu lupa minum obat"

        "Aku sudah tidak merokok lagi, aku cuma merasa apa yang terjadi sudah diluar perkiraanku, ini hanya bentuk dari adrenalin yang meningkat, percayalah" ucapku sambil menggembung kempiskan pipi dengan oksigen.

         "Atur nafas mu, dan minumlah air putih ini" katanya lembut berseru kepadaku, tangannya mengusap punggung tanganku dan satu tangan lagi megusap sambil meniup kening "hus hus, tanang jangan nakal" lanjutnya

Tak ada yang sebaik usapan dari tangan ia, jarinya bisa dikatakan kecil namun aku selalu senang dia dekat dengan aku.

***

Gerimis, air sudah mulai menjajah bumi di bagian ini, teh hangatnya bertambah satu cangkir lagi. dan kini ia meminta sedikit lebih tawar dari yang pertama, namun dengan hangat yang sama. 

         "Kita tak akan menjadi apa-apa dan kita tidak akan menjadikannya apa-apa. selama semua pilihan adalah suara-suara dari pertanyaan bagaimana kelanjutan dari cerita ini?"

       "Hal terbaik dari semua ini, aku bisa bertemu denganmu, dan ini lah membuat aku menjadi sekarang, kamu bisa bayangkan jika yang aku pilih bukan apa yang berada disini? manusia itu hidup bebas bukan? dan kenapa kita tinggal di dunia untuk di gaji? kenapa yang ingin bekerja tidak boleh bertato? kenapa kita harus taat peraturan? kenapa ada banyak hal gak masuk akal di semesta raya ini?"

     "Kalau kamu memang kesal, maka disinilah aku berada. kita bisa membaginya bukan, minumlah teh ini dulu, tadi sudah ku bilang agar mengatur nafasmu bukan?"

     "Tidak, air putih saja. Aku sudah melakukannya, hey, apa menurutmu menggambil nafas itu sudah diatur? apa aku duduk disini denganmu sudah diatur juga oleh takdir? sungguh kota ini tidak banyak memberikan apa-apa terhadapku, bahkan tempat aku berkuliah sekarang, seharusnya aku mengikuti apa kata hatiku dulu."

      "jangan dipusingkan, kamu jalani saja dulu, dan dengarkanlah lagu odessa - all i have, atau perlu aku putarkan lagu-lagu classic?"

      "Tak usah, disini saja itu sudah cukup buatku, terimakasih. hmm bisa bantu aku?"

      "Seperti orang jauh, katakan saja"

      "Maaf, tolong kamu angkat infus ini sedikit lebih tinggi, sepertinya tidak banyak menetes dari infus yang kemarin"

      "Biar aku panggilkan saja susternya sekalian"

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar